Selasa, 22 Mei 2018

RESENSI BUKU 'ANAK RANTAU' KARYA AHMAD FUADI


Judul Buku                  : Anak Rantau
Nama Penulis              : Ahmad Fuadi
Nama Penerbit             : PT Falcon Publishing
Tahun Terbit                : Juli 2017
Jumlah Halaman          : 382 halaman
Ukuran Buku              : 14 x 20,5 cm
Harga                          : Rp. 89.000








Anak Rantau bercerita tentang Hepi, seorang anak tukang cetak di Jakarta yang terpaksa harus melanjutkan hidupnya di kampung halamannya, Minang. Karena keterpaksaan itulah, ia jadi menyimpan dendam pada ayahnya. Ia bertekad, bagaimanapun caranya ia harus kembali ke Jakarta. Hepi bekerja mulai dari mencuci piring hingga mengirim barang kepada preman. Meski dilarang kakeknya, Hepi tetap  bersikeras. Bersama dua sahabat karibnya, Attar dan Zen, Hepi semakin menjadi-jadi. Ketiganya menjadi detektif cilik, menangkap maling kampung, diam-diam memasuki rumah Pandeka Luko yang terkenal ahli tenung hingga menangkap pelaku sindikat narkoba di Tanjung Durian. Segalanya berlangsung cepat hingga akhirnya tabungan Hepi cukup untuk membeli tiket pesawat dan membalaskan dendamnya pada ayah. Namun sebait puisi karangan Pandeka Luko membuatnya berpikir bahwa tak seharusnya dendam itu dipendam.
            Anak Rantau adalah novel bergenre fiksi yang kekianian. Jika melihat keadaan zaman sekarang, mungkin novel ini adalah salah satu yang pas untuk dikaitkan dengan zaman. Seorang anak Jakarta yang enggan hidup di kampung karena egonya. Namun justru Hepi, si anak Jakarta ini mendapatkan pelajaran yang amat berharga di kampung. Adapun Ahmad Fuadi tadinya ingin menulis novel yang menceritakan suasana rantau dan kampung halaman, namun setelah dikembangkan, novel ini justru menjadi cerita tentang obat-mengobati, luka-memaafkan, juga dendam-cinta-benci. Novel ini Ahmad Fuadi persembahkan bagi seluruh masyarakat Indonesia secara umum.
            Berbicara mengenai tampilan buku Anak Rantau ini, jujur saya tertarik dengan cover-nya yang dominan berwarna abu abu dan senja, gambar anak laki-laki menggendong ransel merah dan menyeret koper, serta asap sebuah truk. Bagi saya, cover buku ini Anak Rantau banget. Membuka bukunya, ternyata anatomi buku ini juga bagus. Tidak ada prolog tertentu, tapi bab-nya mencapai 29 bab. Ada lagi yang menarik dari novel ini, yaitu adanya glosarium atau daftar kata-kata yang terdapat dalam sebuah buku. Kemudian, di halaman selanjutnya ada ucapan terima kasih dan profil penulis. Secara keseluruhan, semuanya terkait dan enak dibaca.
            Setiap karya tentu memiliki kelebihan dan kekurangan, begitu juga dengan novel Anak Rantau ini. Kelebihan novel ini adalah ‘rasa’ Minang dalam novel ini kental. Secara tidak langsung Ahmad Fuadi menceritakan kepada kita bagaimana suasana kampung Minang nun jauh disana, baik budayanya, orang-orangnya, bahasanya, bahkan makanannya. Selain itu, di halaman belakang buku juga terdapat keterangan dari kata-kata berbahasa Minang yang dipakai di buku ini. Alur cerita juga berjalan baik dan mudah dipahami pembaca. Adapun kekurangannya antara lain, ada beberapa kata-kata berbahasa Minang yang tidak ada artinya sehingga akan membingungkan pembaca.
            Dengan begini dapat disimpulkan bahwa data yang didapat dari novel ini tidak lain dari ranah Minang dan pengalaman Ahmad Fuadi sendiri sebagai anak rantau (kisahnya ada di novel trilogi Negeri 5 Menara-Ranah 3 Warna-Rantau 1 Muara). Novel ini juga ditulis dengan bahasa yang efektif. Kepiawaiannya sebagai penulis tidak dapat diragukan lagi, banyak karyanya yang berhasil tembus best seller. Terbukti juga dalam buku Anak Rantau ini dengan ulasan-ulasan dari penulis ternama yang mengakui ‘hebatnya’ buku ini. Misalnya kata Tere Liye, “Novel ini paket lengkap spesial. Ada cerita tentang keluarga yang mengharukan, persahabatan, lingkungan hidup, bahkan juga tentang penjelasan pemberontakan besar di masa lalu lewat sudut pandang yang berbeda. Bacalah. Kalian akan merasakan petualangan seru.”. Begitu juga kata Dee Lestari, “Anak Rantau mengajak kita menjenguk ulang makna keluarga, persahabatan, serta akar budaya. Bak hidangan minang yang gurih dan bikin menagih, karya A. Fuadi ini elok dibaca dan renyah dinikmati.”
            Dan setelah membaca Anak Rantau ini, tentu membuka pikiran saya tentang banyak hal. Salah satunya tentang dendam dan cinta yang sangat erat digambarkan dalam novel ini. Saya pribadi sebagai remaja yang kuliah di Jakarta mengambil banyak pelajaran dari novel ini. Novel ini mengajarkan kita untuk selalu ‘pulang’, pulang pada hati yang memaafkan, pulang pada pemahaman yang baik, serta tidak lupa pada kampung halaman.
            Tentang penulis sendiri, Ahmad Fuadi, lahir di Bayur, kampung kecil di pinggir danau Maninjau, tidak jauh dari kampung ulama sastrawan, Buya Hamka. Fuadi merantau ke Jawa, mengikuti perintah Ibunya untuk bersekolah agama, di Pondok Pesantren  Modern Gontor. Hidup selama empat tahun di Gontor, memiliki teman dari Sabang saampai Merauke membuatnya memiliki banyak inspirasi. Utamanya untuk menulis buku mega best seller “Negeri 5 Menara”. Ahmad Fuadi di kini sibuk menulis, menjadi public speaker, serta mengasuh yayasan sosial untuk membantu pendidikan anak usia dini yang kurang mampu—Komunitas Menara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sastra Anak Usia Dini

a. Puisi Lagu Dolanan             Mungkin beberapa di antara kita sudah ada yang pernah mendengar tentang ‘dolanan’ ini. Puisi lagu dola...