Judul Buku :
Anak Rantau
Nama Penulis :
Ahmad Fuadi
Nama Penerbit : PT Falcon Publishing
Tahun Terbit :
Juli 2017
Jumlah Halaman :
382 halaman
Ukuran Buku :
14 x 20,5 cm
Harga :
Rp. 89.000
Anak Rantau bercerita
tentang Hepi, seorang anak tukang cetak di Jakarta yang terpaksa harus
melanjutkan hidupnya di kampung halamannya, Minang. Karena keterpaksaan itulah,
ia jadi menyimpan dendam pada ayahnya. Ia bertekad, bagaimanapun caranya ia
harus kembali ke Jakarta. Hepi bekerja mulai dari mencuci piring hingga mengirim
barang kepada preman. Meski dilarang kakeknya, Hepi tetap bersikeras. Bersama dua sahabat karibnya,
Attar dan Zen, Hepi semakin menjadi-jadi. Ketiganya menjadi detektif cilik,
menangkap maling kampung, diam-diam memasuki rumah Pandeka Luko yang terkenal
ahli tenung hingga menangkap pelaku sindikat narkoba di Tanjung Durian.
Segalanya berlangsung cepat hingga akhirnya tabungan Hepi cukup untuk membeli
tiket pesawat dan membalaskan dendamnya pada ayah. Namun sebait puisi karangan
Pandeka Luko membuatnya berpikir bahwa tak seharusnya dendam itu dipendam.
Anak Rantau adalah novel
bergenre fiksi yang kekianian. Jika melihat keadaan zaman sekarang, mungkin
novel ini adalah salah satu yang pas untuk dikaitkan dengan zaman. Seorang anak
Jakarta yang enggan hidup di kampung karena egonya. Namun justru Hepi, si anak
Jakarta ini mendapatkan pelajaran yang amat berharga di kampung. Adapun Ahmad
Fuadi tadinya ingin menulis novel yang menceritakan suasana rantau dan kampung
halaman, namun setelah dikembangkan, novel ini justru menjadi cerita tentang
obat-mengobati, luka-memaafkan, juga dendam-cinta-benci. Novel ini Ahmad Fuadi
persembahkan bagi seluruh masyarakat Indonesia secara umum.
Berbicara mengenai tampilan buku Anak
Rantau ini, jujur saya tertarik dengan cover-nya yang dominan
berwarna abu abu dan senja, gambar anak laki-laki menggendong ransel merah dan
menyeret koper, serta asap sebuah truk. Bagi saya, cover buku ini Anak
Rantau banget. Membuka bukunya, ternyata anatomi buku ini juga bagus. Tidak
ada prolog tertentu, tapi bab-nya mencapai 29 bab. Ada lagi yang menarik dari
novel ini, yaitu adanya glosarium atau daftar kata-kata yang terdapat dalam
sebuah buku. Kemudian, di halaman selanjutnya ada ucapan terima kasih dan
profil penulis. Secara keseluruhan, semuanya terkait dan enak dibaca.
Setiap karya tentu memiliki
kelebihan dan kekurangan, begitu juga dengan novel Anak Rantau ini.
Kelebihan novel ini adalah ‘rasa’ Minang dalam novel ini kental. Secara tidak
langsung Ahmad Fuadi menceritakan kepada kita bagaimana suasana kampung Minang
nun jauh disana, baik budayanya, orang-orangnya, bahasanya, bahkan makanannya.
Selain itu, di halaman belakang buku juga terdapat keterangan dari kata-kata
berbahasa Minang yang dipakai di buku ini. Alur cerita juga berjalan baik dan
mudah dipahami pembaca. Adapun kekurangannya antara lain, ada beberapa
kata-kata berbahasa Minang yang tidak ada artinya sehingga akan membingungkan
pembaca.
Dengan begini dapat disimpulkan
bahwa data yang didapat dari novel ini tidak lain dari ranah Minang dan
pengalaman Ahmad Fuadi sendiri sebagai anak rantau (kisahnya ada di novel
trilogi Negeri 5 Menara-Ranah 3 Warna-Rantau 1 Muara). Novel ini juga ditulis
dengan bahasa yang efektif. Kepiawaiannya sebagai penulis tidak dapat diragukan
lagi, banyak karyanya yang berhasil tembus best seller. Terbukti juga
dalam buku Anak Rantau ini dengan ulasan-ulasan dari penulis ternama
yang mengakui ‘hebatnya’ buku ini. Misalnya kata Tere Liye, “Novel ini paket
lengkap spesial. Ada cerita tentang keluarga yang mengharukan, persahabatan,
lingkungan hidup, bahkan juga tentang penjelasan pemberontakan besar di masa
lalu lewat sudut pandang yang berbeda. Bacalah. Kalian akan merasakan
petualangan seru.”. Begitu juga kata Dee Lestari, “Anak Rantau mengajak
kita menjenguk ulang makna keluarga, persahabatan, serta akar budaya. Bak hidangan
minang yang gurih dan bikin menagih, karya A. Fuadi ini elok dibaca dan renyah
dinikmati.”
Dan setelah membaca Anak Rantau
ini, tentu membuka pikiran saya tentang banyak hal. Salah satunya tentang
dendam dan cinta yang sangat erat digambarkan dalam novel ini. Saya pribadi
sebagai remaja yang kuliah di Jakarta mengambil banyak pelajaran dari novel
ini. Novel ini mengajarkan kita untuk selalu ‘pulang’, pulang pada hati yang
memaafkan, pulang pada pemahaman yang baik, serta tidak lupa pada kampung
halaman.
Tentang
penulis sendiri, Ahmad Fuadi, lahir di Bayur, kampung kecil di pinggir danau
Maninjau, tidak jauh dari kampung ulama sastrawan, Buya Hamka. Fuadi merantau
ke Jawa, mengikuti perintah Ibunya untuk bersekolah agama, di Pondok
Pesantren Modern Gontor. Hidup selama empat tahun di Gontor, memiliki
teman dari Sabang saampai Merauke membuatnya memiliki banyak inspirasi.
Utamanya untuk menulis buku mega best seller “Negeri 5
Menara”. Ahmad Fuadi di kini sibuk menulis, menjadi public
speaker, serta mengasuh yayasan sosial untuk membantu pendidikan
anak usia dini yang kurang mampu—Komunitas Menara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar