Pelajaran dan hikmah hidup ini tersebar dimana-mana. Berterbangan di
langit-langit Allah, berserakan di antara rumput dan ilalang, bersembunyi di
balik ranting pohon, dan terletak di kepribadian tiap orang yang kita temui
beserta apa yang sedang ia lakukan. Tinggal kita yang pandai-pandai mengambil
pelajaran dan hikmah tersebut dari tiap kejadian yang ada.
Kurang lebih satu minggu kami diutus untuk belajar banyak hal di pondok
salafi, letaknya di Desa Cilember, tepatnya Kampung Jogjogan, Puncak. Walaupun
sebelumnya kami pernah survey ke pesantren ini, namun tetap saja, bangunan
pondok yang sederhana ini menarik hati kami. Teteh-teteh pengurus menyambut
kami dengan ceria. Bangunan sederhana di daerah tinggi yang dingin. Halaman
tidak terlalu luas, pemandangan kandang ayam mewarnai halaman pondok ini.
Padatnya rumah-rumah di atas jalan pondok ini terlihat jelas dari halaman.
Kobong santri yang tergabung dengan rumah Aa Zaki Mubarok dan Teteh Siti Zulfa
yang bersih dan nyaman ditinggali. Darul Huda Tarbiyatul Banat, nama ini jadi
melekat sekali di otak kami.
Setelah dilepas ustadz yang mengantar kami, kami mulai beradaptasi perlahan
dengan warga Darul Huda. Teteh-teteh pengurus yang beberapa sudah mengenali
kami, baik sekali menawarkan makan, memberikan kamar, menunjukkan ruangan-ruangan,
serta membimbing kami banyak hal. Termasuk mengantar ke musala, mengantarkan ke
kamar mandi, dapur, tempat mencuci, dan lain-lain. Kami betah walaupun belum
genap seharian.
Ada satu impian Aa yang kurang bisa terwujudkan, yaitu menerapkan bahasa
arab pada santri-santrinya. Santriwati disini biasa berbahasa sunda, pelajaran
pun diterjemahkan ke bahasa sunda. Maka, Aa mohon sekali pada kami, untuk
mengajarkan bahasa arab pada santriwatinya. Aa sudah memulai sebenarnya, namun
santrinya sepertinya kurang motivasi untuk berbicara bahasa arab sehari-hari.
Pada akhirnya, kami berlima mulai mengenalkan bahasa arab. Dimulai dari
menempelkan kosa kata di tempat-tempat umum, dan melatih mereka terbiasa dengan
kosa kata-kosa kata tersebut. Dan respon mereka, di luar ekspetasi kami. LUAR
BIASA.
Kami makin semangat, mulai mengenalkan kosa kata tentang anggota tubuh dan
bagian-bagian dalam rumah. Suara mereka lantang menggema mengucapkan kosa kata,
dan menyanyikannya dengan ceria. Sesekali tertawa jika ada teman yang salah
mengucapkan. Hari itu, jujur, kami bahagia sekali. Apalagi setelah itu kami
mendengar santri telah mempraktikannya sedikit-sedikit. Sudah bilang hammam
bukan lagi jamban, sudah bilang ukhti bukan teteh, sudah bilang hujroh
bukan lagi kobong, dan lain-lain.
Dan akhirnya, satu minggu berlalu dengan amat sangat menyenangkan. Satu hal
yang kami petik dari segala kejadian ini adalah JANGAN MERASA LEBIH BAIK DARI
ORANG LAIN. Walaupun hanya salafi sederhana, walaupun sehari-hari hanya
berbahasa sunda, namun mereka memiliki semangat yang pantas diacungi jempol.
Mereka antusias sekali berbahasa arab. Dan satu hal yang membuat kami kagum
adalah pengetahuan kitab kuning mereka. Walaupun kami dari pesantren modern,
fasilitasnya jauh berbeda dengan disini, lauk pauknya pun berbeda jauh, tapi
semangat kami mungkin tidak sebesar itu ketika mengetahui hal yang baru dan
pengetahuan kitab kuning kami tidak seluas mereka. Satu lagi, mereka baik-baik
sekali. Bicaranya lembut-lembut dan selalu tersenyum kalau kami lewat. Bahkan,
mereka selalu mengantarkan makanan siang dan malam ke kamar kami, mencarikan hammam
untuk kami mandi. Kami tidak minta sama sekali padahal, malahan kami selalu
menawarkan diri untuk ikut patrol memasak, patrol umum, dan lain-lain.
Lagi-lagi, jangan merasa lebih baik. Bukan berarti ketika derajat mereka
lebih rendah, apa yang mereka miliki juga lebih kecil dari kita, lebih sedikit
dari kita. Bukan berarti ketika derajat kita lebih tinggi, apa yang kita miliki
juga lebih besar dan banyak dari mereka. Selalu rendah hatilah. Allah
mencintainya.
Darul Huda Tarbiyatul Banat, Cilember
21 Oktober 2016
#hanya sebuah refleksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar